Selasa, 29 November 2011

INTISARI UU ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT

Latar belakang diundangkannya Undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara RI No. 33 Tahun 1999) adalah karena sebelum UU tersebut diundangkan muncul iklim persaingan usaha yang tidak sehat di Indonesia, yaitu adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, baik itu dalam bentuk monopoli maupun bentuk-bentuk persaingan usaha tidak sehat lainnya. Pemusatan kekuatan ekonomi pada kelompok pengusaha tertentu terutama yang dekat dengan kekuasaan, telah menyebabkan ketahanan ekonomi Indonesia menjadi rapuh karena bersandarkan pada kelompok pengusaha-pengusaha yang tidak efisien, tidak mampu berkompetisi, dan tidak memiliki jiwa wirausaha untuk membantu mengangkat perekonomian Indonesia.2
UU No. 5/1999 ini diundangkan setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi di tahun 1997-1998 yang meruntuhkan nilai rupiah dan membangkrutkan negara serta hampir semua pelaku ekonomi. Undang-undang ini juga merupakan salah satu bentuk reformasi ekonomi yang disyaratkan oleh International Monetary Fund untuk bersedia membantu Indonesia keluar dari krisis ekonomi.3 Undang-undang ini berlaku efektif pada tanggal 5 Maret 2000. Untuk mengawasi dan menerapkan Undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Pengawas Persaingan Usaha atau disingkat KPPU (berdasar pasal 30 UU No. 5/1995)
Secara umum, isi UU No. 5/1999 telah merangkum ketentuan-ketentuan yang umum ditemukan dalam undang-undang antimonopoli dan persaingan tidak sehat yang ada di negara-negara maju, antara lain adanya ketentuan tentang jenis-jenis perjanjian dan kegiatan yang dilarang undang-undang, penyalahgunaan posisi dominan pelaku usaha, kegiatan-kegiatan apa yang tidak dianggap melanggar undang-undang, serta perkecualian atas monopoli yang dilakukan negara.
Sejauh ini KPPU telah sering menjatuhkan keputusan kepada para pelaku usaha di Indonesia yang melakukan perjanjian-perjanjian atau kegiatan-kegiatan yang dikategorikan terlarang oleh UU No. 5/19994 serta yang menyalahgunakan posisi dominan mereka.5
Akan tetapi, sejauh ini KPPU belum pernah memberi keputusan yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan usaha yang dikecualikan dari ketentuan UU No. 5/1999, padahal terdapat sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha yang dikecualikan dari aturan UU No. 5/1999 (sebagaimana diatur di pasal 50 dan 51 UU No.5/19996). Sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha yang dikecualikan tersebut berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya karena dimungkinkan munculnya penafsiran yang berbeda-beda antara pelaku usaha dan KPPU tentang bagaimana seharusnya melaksanakan sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut tanpa melanggar UU No. 5/1999. Bisa jadi suatu perjanjian atau suatu kegiatan usaha dianggap masuk dalam kategori pasal 50 UU No. 5/1999 oleh pelaku usaha, tetapi justru dianggap melanggar undang-undang oleh KPPU. Oleh karena itu, perlu adanya ketentuan lanjutan yang lebih detil mengatur pelaksanaan sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut demi menghindarkan salah tafsir dan memberikan kepastian hukum baik bagi pengusaha maupun bagi KPPU. Sebagaimana dapat dibaca di pasal 50 dan 51, aturan tentang sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut masing-masingnya diatur dengan sangat singkat, dalam satu kalimat saja.
Salah satu kegiatan/perjanjian usaha yang tidak dikategorikan melanggar UU No. 5/1999 adalah “perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri” (pasal 50 huruf g UU No. 5/1999). Ketentuan ini sangat sumir, terlalu singkat, yang dapat menimbulkan perbedaan penafsiran dan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya.
Artikel ini bertujuan untuk menemukan batasan hukum dalam mendefisinikan perjanjian dan perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan pasokan pasar dalam negeri. Dengan itu penulis berharap dapat membantu KPPU dalam menyusun pedoman pelaksanaan yang lebih jelas dan rinci bagi pelaku usaha di Indonesia yang ingin memanfaatkan ketentuan pasal 50 huruf g. Pedoman yang jelas dan rinci tersebut juga sangat dibutuhkan oleh pelaku usaha atau eksportir Indonesia untuk menghindari ketidakpastian hukum.
Untuk mencapai tujuan di atas, penulis melakukan penelitian kepustakaan baik atas bahan hukum primer (UU No. 5/1999 dan undang-undang persaingan sehat dari beberapa negara lain) serta atas bahan hukum sekunder (artikel-artikel hukum dari jurnal Indonesia dan asing).
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh penulis, maka pembahasan dalam artikel ini difokuskan kepada tiga hal, yaitu:
A. Pengertian umum perjanjian dan perbuatan ekspor yang tidak melanggar undang-undang antimonopoli dan persaingan sehat.
B. Pelaksanaan ketentuan perjanjian dan perbuatan ekspor yang dikecualikan dan tidak melanggar undang-undang antimonopoli dan persaingan sehat di dunia
C. Pengaturan ketentuan pengecualian terhadap perbuatan dan perjanjian ekspor dalam kesepakatan internasional yang dikelola WTO (World Trade Organisation)
Dikarenakan tidak adanya rujukan atau pengalaman di Indonesia yang dapat memberikan gambaran atas pelaksanaan perjanjian atau perbuatan ekspor yang tidak melanggar undang-undang antimonopoli dan persaingan sehat, maka penulis harus merujuk pada pengalaman hukum di negara-negara lain dalam melaksanakan ketentuan serupa. Dari pengalaman hukum di negara-negara lain, terutama negara-negara yang telah menjalankan undang-undang antimonopoli dan persaingan sehat dalam waktu yang lama, maka diharapkan penulis dapat melakukan pembahasan atas ketiga hal di atas, dan selanjutnya dapat menarik kesimpulan untuk menentukan batasan-batasan dalam pelaksanaan pasal 50 huruf g UU No. 5/1999 di Indonesia.
Pengalaman negara-negara lain dalam menerapkan aturan antimonopoli dan persaingan sehat dapat digunakan sebagai rujukan di Indonesia karena hampir semua undang-undang antimonopoli dan persaingan sehat di dunia memiliki karakteristik dan tujuan akhir yang sama, yaitu untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat demi keuntungan konsumen dan pembangunan ekonomi dalam negerinya
1 Afifah Kusumadara adalah dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Pendapat dan opini yang ditulis di artikel ini adalah dari penulis dan tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat dan opini KPPU.
2 Lihat Penjelasan Umum atas UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
3 Lihat Letter of Intent and Memorandum of Economic and Financial Policies yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia kepada IMF tanggal 11 September 1998. http://www.imf.org/external/np/loi/091198.htm. Diakses pada 27 Juli 2007.
4 Perjanjian yang dilarang oleh UU No. 5/1999 adalah: oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, intregasi vertikal, dan perjanjian tertutup. Sedang kegiatan yang dilarang oleh UU No. 5/1999 adalah: monopoli, monopsoni, penguasaan pasar dan persengkokolan.
5 Lihat situs KPPU di http://www.kppu.go.id
6 Pasal 50
Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah:
a. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundangundangan yang berlaku; atau
b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau
c. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau
d. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau
e. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau
f. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; atau
g. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau
h. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
i. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
Pasal 51
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha
Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar