Dalam pembukaan Indonesia Banking Expo 2011 baru-baru ini, Gubernur Bank Indonesia (BI) mengungkapkan, cadangan devisa Indonesia dewasa ini mencapai USD115,8 miliar.
Jumlah ini meningkat dari waktu ke waktu dan diperkirakan sebelumnya, pada akhir 2011, cadangan devisa Indonesia akan mencapai USD120 miliar. Kendati demikian, melihat pertumbuhan jumlahnya yang begitu cepat, cadangan devisa akhir tahun akan mencapai jumlah yang melampaui perkiraan tersebut.Kemungkinan bahkan bisa jauh melampaui angka USD130 miliar.
Cadangan devisa yang besar menjadi fashion di kalangan bank-bank sentral di Asia. Lihat saja Bank Sentral China bahkan memiliki cadangan devisa yang melampaui USD3 triliun. Bank Sentral Jepang memiliki cadangan devisa di atas USD1 triliun.
Negara-negara tetangga Indonesia pun sejak lama memiliki cadangan devisa cukup tinggi, termasuk Malaysia yang sebetulnya secara ekonomi jauh lebih kecil dibandingkan Indonesia.
Fakta ini bertolak belakang dengan perkembangan yang terjadi di Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa yang cadangan devisanya jauh lebih kecil dibandingkan dengan cadangan devisa di China, Jepang, maupun negara besar Asia lain.
Suatu kali cadangan devisa Amerika Serikat bahkan hanya berada di sekitar USD42 miliar, jumlah yang begitu kecil dibandingkan dengan kewajibannya ke luar negeri. Jumlah cadangan devisa yang memadai sangat penting untuk memperoleh tingkat ketahanan ekonomi.
Pengalaman Indonesia selama krisis moneter 1998 sungguh membuktikan betapa pentingnya jumlah cadangan devisa yang memadai. Pada 1998, cadangan devisa yang dimiliki BI ternyata menjadi terlalu kecil dibandingkan dengan derasnya permintaan pembelian devisa sehingga akhirnya meluluhlantakkan nilai tukar rupiah.
Karena itu, kenaikan cadangan devisa pada akhirnya meningkatkan rasa aman bagi para pelaku ekonomi di Indonesia maupun investor asing. Mereka tentu sangat memahami jika terjadi penarikan modal secara tiba-tiba (sudden reversal), bantalan yang dimiliki BI sudah cukup kuat untuk menanggung hal itu.
Suatu hal yang juga sangat penting untuk dipahami adalah jumlah cadangan devisa tersebut dibandingkan dengan jumlah utang luar negeri Pemerintah Indonesia. Pada dewasa ini jumlah cadangan devisa hampir dua kali lipat dibandingkan dengan seluruh jumlah utang luar negeri pemerintah. Dengan terus menguatnya jumlah cadangan devisa, coverage cadangan devisa terhadap utang luar negeri juga menjadi semakin besar.
Jika dibandingkan dengan periode sebelum krisis moneter pada 1988, jumlah cadangan devisa Indonesia umumnya berada di bawah USD20 miliar, sementara jumlah utang luar negeri pemerintah mencapai jumlah lebih dari USD60 miliar.
Dewasa ini jumlah utang luar negeri pemerintah tidak beranjak dari angka sekitar USD60 miliar, sementara cadangan devisanya sudah naik hampir enam kali lipat. Inilah yang pada akhirnya memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia. Dari manakah sumber cadangan devisa Indonesia? Sumber terpenting adalah surplus dari neraca perdagangan dan jasa-jasa Indonesia yang terus bertahan sejak krisis moneter lebih dari 10 tahun lalu.
Dalam beberapa tahun terakhir, surplus tersebut masih ditambah lagi dengan surplus dari aliran modal yang masuk dalam bentuk penanaman modal asing maupun dari aliran modal portofolio. Ini berbeda dengan cadangan devisa yang terbentuk di India, di mana sebetulnya neraca perdagangan dan jasa-jasa (atau dikenal sebagai neraca transaksi berjalan atau current account) yang justru mengalami defisit, tetapi dikompensasi dengan aliran modal masuk yang lebih besar sehingga menimbulkan surplus yang menambah cadangan devisa mereka.
Surplus neraca pembayaran tersebut pada awalnya masuk ke dalam pasar valuta asing di Indonesia (kecuali beberapa transaksi yang memang langsung masuk ke BI). Karena itu, refleksi pertama dari surplus tersebut adalah peningkatan suplai dolar di pasar valuta asing.
Dengan membanjirnya suplai dolar AS, dari mekanisme penawaran dan permintaan terbentuklah harga dolar AS yang melemah terhadap rupiah atau sebaliknya, penguatan nilai tukar rupiah. Keadaan inilah yang selalu diamati BI dari menit ke menit lantaran salah satu fungsi penting BI adalah menjadi penjaga stabilitas (dalam arti tidak berfluktuasi secara ekstrem) dari nilai tukar rupiah.
Jika nilai rupiah menguat tajam, BI harus melakukan intervensi dengan membeli dolar AS dari pasar valuta asing. Intervensi semacam ini dapat dilakukan langsung oleh BI maupun melalui bank-bank (pemerintah) yang menjadi kepanjangan tangan mereka.
Pada saat pembelian dolar AS tersebut, BI membayarnya dengan mata uang rupiah. Langkah ini berdampak pada bertambahnya likuiditas rupiah di pasar. Karena itu, untuk menjaga agar likuiditas rupiah tidak berlebihan, BI harus menyerapnya kembali melalui SBI maupun instrumen yang lain. Inilah yang disebut dengan sterilized intervention.
Langkah semacam ini yang sangat umum dilakukan bank sentral negara lain, membawa beban biaya sangat besar. Suku bunga SBI yang harus ditanggung BI jauh lebih rendah dibandingkan dengan suku bunga yang diterima cadangan devisa yang dimiliki BI.
Itulah sebabnya kita melihat baru-baru ini laporan keuangan BI mengalami defisit lebih dari Rp20 triliun. Orang yang tidak memahami hal ini akan dengan mudah menuduh BI melakukan pemborosan. Namun, bagi yang memahami, akan memaklumi karena bagaimanapun ini biaya untuk memperoleh ketahanan ekonomi. Jumlah defisit BI relatif lebih kecil dibandingkan dengan jumlah anggaran pengeluaran APBN yang tidak terserap setiap tahun.
Karena itu, sungguh diharapkan sikap arif dari berbagai pihak yang terlibat di sini bahwa pada suatu saat nanti (satu-dua tahun lagi) Bank Indonesia pasti berada pada posisi keuangan yang sungguh memerlukan rekapitalisasi.
Dewasa ini jumlah modal mereka masih memadai untuk menampung defisit. Namun, hal tersebut tentu tidak dapat berlangsung selamanya. Semoga stabilitas makro yang sudah tercipta saat ini terus dapat dijaga sehingga kelangsungan bisnis dari dunia usaha Indonesia dapat semakin meningkatkan kesejahteraan kita bersama.
CYRILLUS HARINOWO HADIWERDOYO
Pengamat Ekonomi
(Koran SI/Koran SI/ade)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar